Antara Ujian Keimanan dan Harga Diri

Oleh: Agus Abubakar Arsal

“Kesetiaan yang dibeli dengan uang, bisa dihancurkan dengan uang.”– Seneca

Di tengah dunia yang semakin pragmatis, di mana segala sesuatu diukur dari untung rugi, kesetiaan pun kerap kehilangan makna sejatinya. Ungkapan filsuf Romawi, Seneca, menjadi cermin tajam atas fenomena ini: ketika kesetiaan dikendalikan oleh uang, maka ia mudah dibeli—dan lebih mudah lagi dikhianati. Dalam perspektif filsafat dan nilai-nilai Islam, kita menemukan dua kutub kesetiaan: kesetiaan transaksional yang inautentik, dan kesetiaan otentik yang berakar pada nilai-nilai kebenaran.

Kesetiaan Transaksional: Imitasi Kesetiaan

Kesetiaan transaksional bersifat kondisional dan dangkal. Ia muncul bukan karena keyakinan, tapi karena adanya imbal jasa. Dalam hubungan kerja, loyalitas ini bisa muncul karena gaji atau promosi; dalam politik, karena kekuasaan atau keuntungan; bahkan dalam relasi sosial, karena tekanan atau kepentingan pribadi.

Masalahnya, loyalitas jenis ini rentan goyah. Ketika insentif bergeser, maka arah kesetiaan pun berganti. Dalam istilah eksistensialisme, ini disebut sebagai “bad faith” — suatu bentuk keberpura-puraan moral yang menyembunyikan ketidakjujuran batin demi keuntungan luar.
“Jika kesetiaan adalah komoditas, maka harga akan selalu menentukan arah angin.”

Kesetiaan Otentik: Berdiri di Atas Nilai

Sebaliknya, kesetiaan otentik lahir dari dalam. Ia tumbuh karena iman, integritas, dan kecintaan kepada kebenaran. Orang yang memegang kesetiaan jenis ini tidak mudah terombang-ambing oleh godaan dunia. Ia bisa tetap teguh bahkan saat menghadapi risiko, tekanan, atau kerugian.
Kesetiaan otentik adalah bentuk pengabdian batin—yang tidak lahir karena ingin dilihat orang, atau menghindari hukuman, tapi karena keyakinan bahwa “inilah yang benar”.

Dalam Islam, nilai ini tercermin dalam konsep amanah, istiqamah, dan ikhlas.

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami adalah Allah’, kemudian mereka istiqamah, maka malaikat turun kepada mereka…”
(QS Fusshilat: 30)

Perspektif Islam: Antara Amanah dan Kemunafikan

Al-Qur’an dan hadis secara jelas membedakan antara kesetiaan karena iman dan kesetiaan yang dimotivasi kepentingan. Bahkan, salah satu tanda kemunafikan adalah berkhianat terhadap amanah:

“Tanda orang munafik ada tiga: apabila berkata ia berdusta, apabila berjanji ia mengingkari, dan apabila diberi amanah ia berkhianat.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Islam mengajarkan bahwa iman dan kesetiaan adalah satu paket. Tidak mungkin seseorang dikatakan beriman jika ia tidak bisa dipercaya. Kesetiaan tidak boleh ditukar dengan dunia:

“Janganlah kamu menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang murah…”
(QS Al-Baqarah: 41)

Berikut ini adalah kutipan-kutipan dari sumber Ahlulbait Nabi ﷺ yang membahas tentang kesetiaan (al-wafā’), kejujuran (ṣidq), amanah, dan nilai otentik dalam berperilaku, yang relevan untuk memperkuat tema kesetiaan otentik vs kesetiaan transaksional:

  1. Imam Ali ibn Abi Thalib

Kesetiaan sebagai kebajikan tertinggi:

“Al-wafā’ bi al-‘ahd min akhlāq al-karām wa khiyānat al-‘ahd min akhlāq al-lu’ām.”
“Menepati janji adalah akhlak orang-orang mulia, sedangkan mengkhianati janji adalah sifat orang-orang hina.”
(Nahj al-Balaghah, Hikmah 34)

Makna: Kesetiaan adalah ukuran kemuliaan akhlak. Ia bukan tentang untung rugi, tapi tentang siapa dirimu sebenarnya.

Tentang pengkhianatan karena kepentingan:

“Al-khā’in lā yamna‘uhu minka iḥsānuk, walā yaḥmiluhu ‘alayka iḥsānuka.”
“Pengkhianat tidak akan terhalang berbuat buruk kepadamu oleh kebaikanmu, dan kebaikanmu tidak akan mampu mendorongnya menjadi setia.”
(Nahj al-Balaghah, Hikmah 289)

Makna: Kesetiaan yang tidak berasal dari hati dan prinsip tidak akan tahan diuji. Jika ia hanya karena balasan, maka ia mudah berubah.

  1. Imam Husain ibn Ali.

Tentang prinsip di atas keselamatan:

“Aku tidak keluar (untuk berperang) karena kesombongan atau kerusakan. Aku keluar hanya untuk memperbaiki umat kakekku.”
(Tārīkh al-Ṭabarī, Jilid 5, hlm. 402)

Makna: Kesetiaan Imam Husain kepada prinsip keadilan dan kebenaran membuatnya rela mengorbankan dunia. Ini adalah bentuk kesetiaan otentik yang tak tergoyahkan, bukan karena keuntungan, melainkan karena amanah nilai.

  1. Imam Ja‘far al-Ṣādiq

Tentang ikhlas dan loyalitas sejati:

“Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, maka sempurnalah imannya.”
(Al-Kāfī, Jilid 2, hlm. 124)

Makna: Kesetiaan sejati tidak dibangun karena dunia, tetapi karena nilai ilahiah. Jika setia hanya karena dunia, maka imannya jauh dari sempurna.

Tentang amanah dan tanggung jawab moral:

“Janganlah kamu melihat seseorang dari panjang rukuk dan sujudnya, karena itu kebiasaan yang bisa ia tinggalkan jika bosan. Tapi lihatlah dari kejujurannya dalam berkata dan kesetiaannya dalam memegang amanah.”
(Al-Kāfī, Jilid 2, hlm. 105)

Makna: Ibadah lahir bisa menipu, tapi kesetiaan pada amanah dan kejujuran adalah tanda otentik dari iman.

Kesimpulan Ahlulbait tentang Kesetiaan Otentik:

Imam Ali (as):
Kesetiaan adalah akhlak orang mulia, pengkhianatan adalah kehinaan

Imam Ja‘far (as):
Kesetiaan dinilai dari kejujuran dan amanah, bukan ritual lahir semata

Imam Husain (as):
“Kesetiaan sejati adalah teguh pada prinsip meskipun menghadapi kematian”

Psikologi Moral: Menuju Tingkatan Tertinggi

Dalam teori perkembangan moral Lawrence Kohlberg, individu yang matang secara moral akan menunjukkan tindakan berdasarkan prinsip-prinsip universal, bukan sekadar aturan atau imbalan. Ia bertindak bukan karena takut dihukum atau ingin dipuji, tapi karena merasa bertanggung jawab secara moral.
Kesetiaan otentik adalah ekspresi dari moralitas post-konvensional, di mana seseorang menghidupi kebenaran, bukan hanya menjalankannya secara mekanis.

Kesimpulan: Kesetiaan Adalah Cermin Kepribadian

Kesetiaan adalah ujian kejujuran seseorang terhadap dirinya sendiri dan terhadap kebenaran. Apakah ia setia hanya karena dibayar? Ataukah ia setia karena ia percaya dan mencintai apa yang benar?

Islam tidak hanya menuntut kita untuk setia kepada sesama, tetapi lebih dalam lagi, setia kepada kebenaran, kepada janji ruhani, dan kepada amanah yang telah diemban sebagai makhluk yang merdeka dan bertanggung jawab, sebagai Pemimpin atau pemegang amanah, sebagai anak/orangtua, sebagai Ayah/Ibu, sebagai Suami/Istri dst

“Sesungguhnya Kami telah tawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, semuanya enggan dan khawatir akan mengkhianatinya, lalu manusia memikulnya…”
(QS Al-Ahzab: 72)

Penutup

Zaman boleh berubah, tapi nilai harus tetap dijaga. Dunia mungkin mendorong kita menjadi manusia pragmatis, tetapi jiwa sejati tetap akan memilih untuk menjadi manusia bermartabat. Sebab, kesetiaan yang otentik adalah jejak kemuliaan, bukan hasil transaksi.

baca Opini yang Lain Tentang Tauhid

Check Also

Mencari Rembulan di Dasar Sumur

Alkisah, suatu ketika di bulan purnama, Nasaruddin Hoja melihat ke sumur, dan betapa kagetnya ia …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *