Bantuan dan Ironi Lingkungan: Kisah Ganda di Balik Banjir Pohuwato

Hari ini, Rabu 25 Juni 2025, Wakil Bupati Pohuwato H. Iwan S. Adam bersama tim Biomassa Group pimpinan Manajer Community Development (CDO) Bapak Zunaidi, turun ke lokasi banjir di Desa Tuweya dan Bohusami. Kunjungan ini diklaim sebagai “bentuk kepedulian” bagi korban banjir bandang yang melanda sejak 20 Juni lalu. Namun, di balik simbolis serah terima bantuan, tersembunyi paradoks pahit: apakah perusahaan-perusahaan ini bagian dari solusi atau justru pemicu bencana?

Banjir Pohuwato: Duka dan Data
Banjir bandang pada 20 Juni 2025 mengakibatkan:

  • 2 warga tewas terseret arus: Yance Munu (36) dan Larastiari Lakoro (14) .
  • 2.542 KK (8.468 jiwa) terdampak di 10 desa, dengan kerusakan rumah dan lahan pertanian terparah di Kecamatan Wanggarasi dan Lemito .
  • Genangan lumpur dan puing masih menyelimuti permukiman, mengganggu aktivitas harian warga .

Bantuan dari pemerintah dan swasta pun mengalir: dari Kemensos (Rp312 juta) , Polres Pohuwato , hingga PT IGL/BTL (Biomassa Group) yang hari ini menyerahkan paket sembako .

Kunjungan Wabup dan Perusahaan: Kepedulian atau Pencitraan?
Dalam kunjungannya, Wabup Iwan S. Adam dan Zunaidi (CDO PT IGL/BTL) menegaskan komitmen “penanganan darurat dan pemulihan lingkungan”. Namun, pernyataan ini menuai skeptisisme:

  • PT IGL/BTL, perusahaan pengelola perkebunan dan biomassa, mengklaim operasionalnya “patuh kelestarian lingkungan” dengan konservasi Daerah Aliran Sungai (DAS) dan water point .
  • Tapi warga mencatat: banjir 20 Juni adalah yang terbesar dalam 30 tahun terakhir. “Air datang membawa lumpur hitam dari arah hulu perkebunan,” ujar Zain, warga Desa Tuweya .
  • Gubernur Gorontalo (2021) pernah menegaskan: banjir di Pohuwato dipicu kerusakan lingkungan dari aktivitas pertambangan dan perkebunan yang mengabaikan pelestarian lingkungan .

Ironinya, PT IGL/BTL justru menjadi penyumbang bantuan bagi korban banjir yang mungkin disebabkan oleh model bisnisnya sendiri.

Membongkar Klaim “Perusahaan Ramah Lingkungan”
PT IGL/BTL bersikukuh bahwa operasionalnya “jauh dari jalur sungai” dan “mematuhi kaidah konservasi” . Namun, fakta lapangan bertolak belakang:

  1. Pembukaan Lahan Skala Besar: Proyek kebun PT IGL/BTL di kawasan hulu berpotensi mengurangi resapan air. Saat hujan deras, limpasan air meningkat drastis ke permukiman hilir.
  2. Water Point yang Tidak Memadai: Klaim water point sebagai “penampung curah hujan” tidak efektif jika kapasitasnya kalah dengan luasan lahan gundul.
  3. Erosi dan Sedimen: Material lumpur yang membanjiri desa diduga berasal dari tanah terbuka di area yang tidak mampu lagi menampung material oleh limpahan air .

Bantuan sembako dan tenda darurat tak akan menyelesaikan akar masalah: degradasi lingkungan sistematis.

Suara Warga: “Kami Butuh Solusi, Bukan Sembako Semata”
Di tengah genangan sisa banjir, warga Desa Tuweya berjuang membersihkan rumah dan menjemur perabotan . Mereka menghargai bantuan, Tetapi Akar permasalahannya yang harus di utamakan:

“Jangan Hanya beri kan Ikan, tapi ajari Mereka memancing. Jangan Hanya beri tenda, tapi selamatkan sungai dan hutan Mereka.”

Jalan ke Depan: Dari Bantuan ke Akuntabilitas
Jika pemerintah dan perusahaan serius memulihkan Pohuwato, langkah konkret wajib diambil:

  1. Audit Lingkungan Independen: Selidiki kontribusi aktivitas perkebunan/biomassa terhadap banjir bandang.
  2. Rehabilitasi DAS: Restorasi hutan riparian dan normalisasi sungai, bukan sekadar “penyediaan water point” .
  3. Keterbukaan Data: PT IGL/BTL harus membuka peta konsesi, analisis dampak lingkungan (AMDAL), dan rencana restorasi.
  4. Peran Wabup Iwan S. Adam: Tidak hanya turun saat bencana, tapi mengawal regulasi perlindungan DAS.

Bantuan Adalah Kewajiban, Bukan Amal
Kunjungan Wabup Iwan dan tim Biomassa Group hari ini adalah langkah simbolis yang patut diapresiasi. Namun, masyarakat Pohuwato tidak butuh pencitraan. Mereka butuh keadilan ekologis:

Perusahaan yang menggerus lingkungan tidak bisa menebus dosa dengan bantuan sembako.

Sebagaimana diingatkan Bupati Minahasa di wilayah tetangga: “Bencana tidak selalu datang dari alam, tapi juga dari kelalaian kita sendiri” . Saatnya Pohuwato belajar dari kelalaian itu.

dalam artikel sebelumnya pemerhati lingkungan telah memberikan perhatian tentang krisis banjir dan kekeringan yang melanda kabupaten Pohuwato.

Check Also

Emas Berdarah Gorontalo: Ekologi Yang Tergadaikan

Gorontalo, – Di balik kilau logam mulia, Provinsi Gorontalo menyimpan luka lingkungan dan sosial yang …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *