Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, yang menyimpan kekayaan hutan hujan tropis Sulawesi, kini menghadapi tekanan deforestasi multi-sektor. Selain ancaman dari perkebunan kelapa sawit dan perambahan pertanian, pembukaan lahan untuk Hutan Tanaman Energi (HTE) oleh perusahaan skala besar turut mempercepat hilangnya tutupan hutan. Data Dinas Lingkungan Hidup Gorontalo mencatat, dalam lima tahun terakhir, lebih dari 5.000 hektare hutan di Pohuwato telah hilang, dengan 15% di antaranya dikonversi menjadi HTE untuk bahan baku bioenergi seperti kayu kaliandra dan gamal. Aktivitas ini tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati, tetapi juga memicu krisis air bersih bagi masyarakat adat.
Penyebab Deforestasi: Dari Sawit hingga Hutan Tanaman Energi
Investigasi lapangan mengungkap bahwa deforestasi di Pohuwato didorong oleh tiga faktor utama: perluasan perkebunan kelapa sawit, praktik penebangan liar, dan proyek Hutan Tanaman Energi (HTE). Sejak 2020, setidaknya dua perusahaan HTE telah beroperasi di wilayah hutan produksi dengan dalih mendukung program energi terbarukan pemerintah. Namun, pembukaan lahan HTE justru mengorbankan hutan alam yang menjadi habitat satwa endemik.
Perusahaan HTE masuk dengan izin pengelolaan untuk tanaman energi, tetapi yang ditebang justru pohon-pohon besar berusia puluhan tahun. Lahan kemudian ditanami kaliandra yang cepat tumbuh, tetapi ekosistem asli tidak bisa tergantikan.
Pembabatan hutan untuk HTE di kawasan resapan air telah mengurangi debit mata air yang selama ini menjadi andalan ratusan keluarga.
Sementara itu, Dinas Kehutanan Gorontalo mengklaim proyek HTE merupakan bagian dari komitmen Indonesia mencapai net zero emission 2060. “HTE dirancang untuk menyediakan bahan baku bioenergi yang lebih berkelanjutan. Kami memastikan perusahaan hanya menggarap lahan yang sudah terdegradasi,” Namun, fakta di lapangan menunjukkan banyak HTE justru mengambil alih hutan sekunder yang masih memiliki tegakan pohon beragam.
Dampak Ekologis dan Sosial yang Mengkhawatirkan
Hutan Pohuwato merupakan rumah bagi 12 jenis burung endemik Sulawesi, termasuk Maleo dan Julang Sulawesi. Pembukaan lahan HTE dan perkebunan sawit telah mempersempit ruang hidup satwa-satwa ini, memicu konflik manusia-satwa di beberapa desa. Pada Agustus 2023, seekor babi hutan dilaporkan merusak kebun warga di Desa Duhiadaa setelah habitatnya dirambah HTE.

Di sisi lain, proyek HTE dinilai gagal memberikan manfaat ekonomi jangka panjang bagi masyarakat. Berbeda dengan kelapa sawit yang menyerap tenaga kerja, HTE dikelola secara monokultur dengan sistem mekanisasi tinggi. dipekerjakan sebagai buruh harian saat masa tanam. Setelah itu Selesai.
Tumpang Tindih Kebijakan dan Resistensi Warga
Aktivis lingkungan menilai proyek HTE di Pohuwato adalah contoh greenwashing (pencucian hijau) karena mengorbankan hutan alam demi target energi terbarukan. “Mengganti hutan heterogen dengan tanaman monokultur bukan solusi iklim. Justru ini merusak penyerap karbon alami dan melemahkan ketahanan ekosistem,” tegas Rina Mariana dari WALHI Gorontalo.
Konflik lahan juga semakin panas. Pada Mei 2023, masyarakat adat di Desa Buntulia menolak perluasan HTE dengan mendirikan posko perlawanan. Mereka menuntut pencabutan izin perusahaan yang dianggap mengabaikan hak ulayat. “Hutan kami bukan lahan terlantar. Ini warisan leluhur yang harus kami jaga,” seru Markus Tilahude, tokoh pemuda adat setempat.
Mencari Solusi Berkelanjutan
Beberapa inisiatif lokal mulai muncul untuk menjawab tantangan ini. Kelompok tani di Desa Lemito mengembangkan agroforestri berbasis energi, menanam kaliandra di antara pohon buah dan kawasan reboisasi. “Ini cara kami agar bisa memenuhi permintaan perusahaan HTE tanpa menebang hutan,
Di tingkat kebijakan, WALHI mendorong pemerintah menghentikan alih fungsi hutan alam untuk HTE dan memperkuat pengakuan hutan adat. “Jika tidak, Pohuwato akan kehilangan fungsi ekologisnya dalam 10 tahun ke depan,” pungkas Rina.
Sementara itu, ancaman deforestasi terus berjalan. Jika pembukaan lahan HTE dan sawit tidak dikendalikan, kabupaten ini tidak hanya kehilangan hutannya, tetapi juga masa depan warganya yang bergantung pada alam.