Empat Pulau Aceh Beralih ke Sumut, Otonomi Khusus Dipertanyakan

Pemerintah Aceh menggugat Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kemendagri) No. 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang memindahkan empat pulau—Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek—dari kewenangan Aceh Singkil ke Sumatera Utara (Sumut). Keputusan sepihak ini dinilai sebagai “tamparan bagi perdamaian” dan pengingkaran sejarah, merusak tatanan otonomi khusus Aceh pasca-MoU Helsinki 2005 .

Luka Sejarah yang Terus Terbuka

1. 1945–1953: Janji Otonomi yang Dikhianati

  • Aceh bergabung dengan Republik Indonesia dengan janji otonomi luas dan penerapan syariat Islam.
  • Pada 1950, Jakarta malah menggabungkan Aceh ke dalam Provinsi Sumut. Peleburan ini dianggap “pengkhianatan” atas jasa rakyat Aceh mempertahankan kemerdekaan RI .

2. Pemberontakan Daud Beureueh (1953)

  • Kekecewaan memicu Teungku Daud Beureueh—Mantan Gubernur Militer Aceh—mendeklarasikan Aceh bagian Negara Islam Indonesia (NII) pada 20 September 1953.
  • Pemberontakan DI/TII Aceh berlangsung 9 tahun, baru mereda setelah Jakarta mengembalikan status Daerah Istimewa Aceh dan hak penerapan syariat pada 1962 .

3. Eksploitasi SDA & Munculnya GAM (1976)

  • Temuan cadangan gas di Arun, Aceh Utara (1971), dan pembangunan terminal LNG Blang Lancang mengubah Lhokseumawe menjadi “kota petrodolar”. Namun, 90% keuntungan mengalir ke Jakarta dan perusahaan asing seperti Mobil Oil (Exxon) .
  • Ketimpangan ini memicu Hasan di Tiro mendirikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 1976, menuntut kemerdekaan dengan dukungan Libya .

Titik Balik: Tsunami 2004 dan MoU Helsinki

Peran Bencana dalam Perdamaian

  • Tsunami 26 Desember 2004 menewaskan 170.000 warga Aceh, menghancurkan infrastruktur, namun membuka jalan diplomasi .
  • MoU Helsinki (2005) mengakhiri konflik 30 tahun dengan kompromi:
  • Aceh mendapat otonomi khusus.
  • GAM menyerahkan senjata.
  • Bagi hasil SDA 70% untuk Aceh, jauh lebih tinggi dari provinsi lain .

Keputusan 2025: Mengapa Empat Pulau “Hilang”?

Fakta Sengketa

  • Bukti Historis: Warga empat pulau menggunakan KTP Aceh, infrastruktur dibiayai APBA (2012), dan batas wilayah diakui turun-temurun .
  • Argumentasi Pusat: Kemendagri mengabaikan peta 1978 dan RBI, menggunakan “analisis spasial baru” untuk memindahkan pulau ke Sumut .

Dugaan Motif Ekonomi

  • Empat pulau itu diduga menyimpan cadangan migas dan jadi lokasi rencana investasi Uni Emirat Arab (UEA). Keputusan ini dianggap sebagai “manuver ekstraksi sumber daya” oleh Jakarta .
  • Pola serupa terlihat pada masa kejayaan Arun LNG (1978–2014), di mana Lhokseumawe jadi pusat industri, tetapi 4 desa dihapus peta dan ribuan pekerja di-PHK saat cadangan menipis .

Ironi Pasca-MoU Helsinki: Otonomi yang Rapuh

  • UU Pemerintahan Aceh (No. 11/2006) menjamin kewenangan luas, tapi pemerintah pusat tetap menguasai bidang strategis seperti perbatasan .
  • Pelanggaran Hierarki Hukum: Kepmendagri 2025 dinilai bertentangan dengan UU No. 24/1956 (dasar hukum batas Aceh) dan MoU Helsinki yang merujuk batas 1956. Ini bukti “pengikisan lex superior” .
  • Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (mantan Panglima GAM), menjadi simbol kegagalan: ia tak mampu menghalangi keputusan pusat meski duduk di kekuasaan .

Dampak Sosial: Ancaman bagi Perdamaian

  • Resistensi Lokal: Masyarakat Aceh menyebut pemindahan pulau sebagai “pengkhianatan kedua” setelah peleburan ke Sumut 1950.
  • Risiko Konflik Baru: Peneliti seperti Aspinall (2014) memperingatkan “predatory peace”—elit lokal dan pusat berebut SDA, memicu krisis kepercayaan .
  • Wacana pemindahan ibu kota ke Nusantara dinilai semakin mengabaikan hak-hak daerah .

“Aceh rela mengubur mimpi merdeka demi otonomi khusus. Kini, kami kehilangan pulaunya. Ini luka yang menyatukan sejarah dan identitas kami,” — Alkaf, aktivis perdamaian Aceh .


Masa Depan Aceh: Otonomi atau Sentralisasi?

Keputusan ini menjadi ujian bagi pemerintahan Jokowi:

  1. Hukum vs Politik: Jika keputusan menteri bisa membatalkan UU dan perjanjian damai, otonomi khusus hanyalah “simbol kosong”.
  2. Ekonomi vs Keadilan: Eksploitasi SDA Aceh tanpa melibatkan lokal berpotensi mengulang tragedi Arun LNG yang meninggalkan Lhokseumawe stagnan .
  3. Preseden Buruk: Daerah otonom lain di Indonesia kini waspada: keputusan serupa bisa terjadi di wilayah kaya SDA seperti Papua atau Riau.

Pemindahan empat pulau Aceh bukan sekadar sengketa administratif. Ia adalah cermin dari relasi Jakarta-Aceh yang timpang sejak 1950, di mana janji otonomi kerap dikalahkan oleh kepentingan ekonomi pusat. Jika MoU Helsinki dianggap sebagai “proyek rekonsiliasi final”, keputusan 2025 ini membuktikan bahwa perdamaian masih rentan diinjak oleh kebijakan sepihak. Masyarakat Aceh kini menunggu: akankah Jakarta mengulangi sejarah “amnesia politik”, atau belajar menghargai harga diri yang telah dibayar dengan darah dan tsunami?

Check Also

Atas Nama Tuhan? Tapi Tuhan yang Mana?

Oleh: Agus Abubakar Arsal Alhabsyi Baru saja terjadi, sebuah unggahan yang memicu kegelisahan moral, Presiden …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *