Provinsi Gorontalo menghadapi krisis lingkungan tanpa preseden sepanjang 2024-2025. Di balik janji pertumbuhan ekonomi, proyek-proyek investasi skala besar—khususnya pengembangan bioenergi berbasis kayu dan pertambangan—telah menggerus hutan alam secara sistematis, memicu bencana ekologis, dan mengorbankan hak-hak masyarakat adat.
Deforestasi Terencana: Mekanisme Investasi Bioenergi yang Merusak
- Ekspansi Industri Wood Pellet: Gorontalo menjadi episentrum ekspor wood pellet (pelet kayu) terbesar di Indonesia, dengan Jepang dan Korea Selatan sebagai pasar utama. Dua perusahaan utama—PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL) dan PT Inti Global Laksana (IGL)—menguasai konsesi seluas 27.353 hektare di Kabupaten Pohuwato, mengubah hutan alam menjadi kebun energi tanaman gamal dan kaliandra. Padahal, 62% wilayah kerja mereka adalah hutan alam yang seharusnya dilindungi .
- Deforestasi Masif: Data Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat kerusakan hutan alam di konsesi PT BTL mencapai 1.105 hektare pada 2021-2023. Sementara total deforestasi Gorontalo periode 2017-2023 mencapai 35.770 hektare—setara dengan 50% luas Jakarta! Tren ini terus meningkat sepanjang 2024 akibat perluasan pabrik pelet kayu .
- Pemutihan Izin ilegal: Kedua perusahaan ini mendapat “amnesti” izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui skema Perhutanan Hak, meski aktivitas mereka terbukti membabat hutan alam, bukan lahan rehabilitasi seperti klaim resmi .
Dampak Langsung: Bencana Ekologis dan Konflik Sosial
Banjir dan Longsor Skala Besar
- Juli 2024: Banjir bandang dan tanah longsor di tiga kabupaten (Kota Gorontalo, Bone Bolango, Gorontalo) menewaskan 27 orang, dengan 36.100 jiwa terdampak. BPBD Gorontalo menetapkan status tanggap darurat, tetapi respons pemerintah dinilai lamban.
- Penyebab utama bukan hanya curah hujan, melainkan alih fungsi lahan besar-besaran untuk perkebunan monokultur (jagung, sawit) dan tambang yang mengurangi daya serap air .
Konflik Agraria Masyarakat vs Perusahaan
- Di Desa Londoun (Pohuwato), PT BTL menguasai lahan warga dengan janji palsu: sertifikat tanah dan plasma 2 hektare per keluarga. Nyatanya, setelah 15 tahun, hanya 30 sertifikat yang terbit. Warga masih membayar pajak tanah yang sudah dijual ke perusahaan .
- Perusahaan juga menggusur 600 meter jalan desa untuk akses truk pengangkut kayu, merampas ruang hidup masyarakat adat yang bergantung pada hutan .
Faktor Pemicu: Kegagalan Tata Kelola dan Kepentingan Kapital
Kelemahan Regulasi dan Pembiaran Pemerintah
- Proyek Infrastruktur Destruktif: Pembangunan Gorontalo Outer Ring Road (GORR)—jalan nasional sepanjang 45 km—dilakukan tanpa Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL). Proyek ini membelah hutan lindung dan kawasan perbukitan terjal, meningkatkan risiko sedimentasi Danau Limboto dan longsor .
- Pembiaran Deforestasi: Pemerintah Daerah Pohuwato justru membela perusahaan saat wood pellet ilegal (10.545 ton) diamankan Bakamla Agustus 2024. Sekda Iskandar Datau menyatakan dokumen perusahaan “lengkap”
Model Investasi Ekstraktif
- Perusahaan bioenergi beroperasi dengan logika kapitalisme ekstraktif: mengkomodifikasi alam untuk keuntungan segelintir pihak. Wood pellet yang diproduksi tidak untuk kebutuhan rakyat Gorontalo, tetapi ekspor ke Jepang dan Korea guna memenuhi target transisi energi mereka .
- Pola serupa terlihat di sektor tambang: PT Gorontalo Minerals menguasai 24.996 hektare kawasan hutan, merusak ekosistem dan memicu bencana berulang sejak 1994 .
Dampak Sistemik: Krisis Air dan Kepunahan Biodiversitas
- Degradasi Lingkungan Hidup: Alih fungsi hutan mengakibatkan krisis air bersih di Pohuwato. Sedimentasi sungai, pencemaran air oleh limbah tambang, dan hilangnya hutan mangrove memperparah kerusakan ekosistem .
- Ancaman Kepunahan: Satwa endemik Sulawesi seperti burung maleo dan anoa kehilangan habitat. Cagar Alam Panua dan Suaka Margasatwa Nantu—kawasan konservasi kunci—terancam oleh perluasan tambang dan perkebunan .
“Kapitalisme melihat alam sebagai komoditas yang harus dieksploitasi. Dampaknya: hilangnya keanekaragaman hayati dan peningkatan kepunahan spesies.”
— Ashley Dawson, Kapitalisme dan Kepunahan .
Resistansi Masyarakat dan Jalan ke Depan
Tuntutan Moratorium dan Penegakan Hukum
- Simpul WALHI Gorontalo mendesak moratorium izin perusahaan ekstraktif, audit lingkungan menyeluruh, dan pencabutan izin bagi perusak lingkungan .
- Koalisi JPLLH melakukan demonstrasi Oktober 2024, menuntut tindakan tegas terhadap PT BTL, PT IGL, dan PT BJA atas kejahatan lingkungan dan dugaan pencucian uang .
Solusi Berkelanjutan
- Revisi Kebijakan Agropolitan: Menghentikan alih fungsi lahan untuk perkebunan jagung monokultur yang merusak tanah .
- Perhutanan Sosial: Mengembalikan kawasan hutan kepada masyarakat adat sebagai bentuk keadilan agraria. Contoh: 158 hektare di Pohuwato yang berhasil dikelola warga melalui izin KLHK .
- Transisi Energi Berkeadilan: Menolak biomassa kayu sebagai “energi terbarukan” dan beralih ke sumber benar-benar berkelanjutan seperti surya atau angin .
Darurat Ekologis sebagai Peringatan
Gorontalo adalah contoh tragis bagaimana investasi berbasis ekstraksi sumber daya alam—dengan dalih transisi energi atau pembangunan—justru menjadi “proyek menuju kepunahan” . Di balik triliunan rupiah investasi, yang tersisa adalah hutan yang terluka, masyarakat yang termarginalkan, dan bencana yang mengintai masa depan.
Pemerintah harus segera menghentikan pembiaran ini: tegakkan hukum lingkungan, cabut izin perusak alam, dan prioritaskan pemulihan ekosistem. Sebab, seperti diingatkan aktivis: “Tidak ada air, tidak ada kehidupan. Tidak biru, tidak hijau”