Oleh Agus Abubakar Arsal
Bekasi 01 Juli 25– Menjawab berbagai tuduhan terhadap Iran berkenaan dengan motif pembelaannya terhadap Palestina. Berikut ini adalah sebagian jawabannya.
Dukungan Republik Islam Iran terhadap Palestina bukanlah perkara diplomasi transaksional atau sekadar politik luar negeri. Ia telah menjadi bagian dari identitas revolusioner negara tersebut sejak 1979, tertulis jelas dalam konstitusinya, digaungkan dalam mimbar-mimbar keagamaan, dan diterjemahkan dalam bentuk dukungan nyata—baik logistik, moral, maupun militer—terhadap kelompok-kelompok perlawanan di wilayah pendudukan. Konstitusi Iran berdasarkan Al Qur’an yang memerintahkan umatnya untuk membela mereka yang tertindas tanpa melihat agama dan mazhabnya. Tidak ada permusuhan kecuali kepada mereka yang zalim (02:193)
Namun sejarah tidak selalu berpihak pada ketulusan. Dalam perjalanannya, Iran berkali-kali harus menelan kenyataan pahit: dikhianati oleh sebagian dari mereka yang pernah ia bela.
Syeikh Ahmad Yasin dan Arafat: Tikaman Awal dari Dunia Arab
Syekh Ahmad Yasin, pendiri Hamas dan simbol perlawanan Palestina, pernah menjadi penerima utama simpati dan dukungan Iran. Namun saat perang Irak-Iran meletus pada 1980—konflik delapan tahun yang meluluhlantakkan kedua negara—Yasin memilih berpihak pada Saddam Hussein, presiden Irak kala itu, yang justru didukung oleh sebagian besar negara Arab dan Barat dalam menyerang Iran pascarevolusi.
Hal serupa terjadi pada Yasser Arafat, pemimpin Otoritas Palestina dan tokoh utama PLO. Meski Iran telah memberi dukungan terhadap perjuangan Arafat –dukungan moril dan material a.l. menyerahkan kantor kedubes Israel kepada PLO– ia pun menyatakan dukungannya terhadap Irak selama perang tersebut.
“Sikap itu bukan hanya mengejutkan, tapi melukai,” kata seorang analis politik Timur Tengah dari Universitas Teheran. “Bagi Iran, yang saat itu baru berdiri dan dikepung dari segala arah, pengkhianatan dari sesama Muslim terasa lebih menyakitkan daripada embargo dari Barat.”
Suriah dan Hamas: Ujian Keteguhan di Era Krisis
Iran kembali diuji ketika krisis Suriah meletus pada 2011. Mayoritas negara Arab dan Barat mendukung upaya penggulingan Presiden Bashar al-Assad, sekutu lama Iran. Meski Assad menghadapi tekanan luar biasa dan isolasi internasional, Iran tetap mengirim dukungan militer dan logistik untuk mempertahankannya, termasuk melalui kehadiran Pasukan Quds dan Hizbullah.
Namun, Hamas—yang selama bertahun-tahun menerima bantuan dari Iran—justru mengambil jarak dari Teheran dan menyatakan dukungan terhadap pemberontakan di Suriah, yang didominasi oleh kelompok-kelompok ‘Sunni’ dan didukung negara-negara Teluk.
Langkah itu membuat hubungan antara Iran dan Hamas sempat memburuk tajam, sebelum kemudian membaik kembali dalam beberapa tahun terakhir akibat agresi Israel yang semakin brutal.
Mesir: Kekecewaan dari Arab Spring
Ketika Arab Spring melanda Mesir pada 2011, Iran mendukung dan menyambut gembira tumbangnya rezim Hosni Mubarak, tokoh pro-Barat yang selama puluhan tahun menjaga hubungan erat dengan Israel dan memblokade Gaza. Kemenangan kelompok Ikhwanul Muslimin dan terpilihnya Muhammad Mursi sebagai presiden Mesir dianggap sebagian kalangan sebagai kemenangan “gerakan Islam rakyat”.
Namun harapan itu segera pupus. Saat konflik Suriah memuncak, Presiden Mursi secara terbuka menyatakan dukungannya kepada kelompok oposisi dan pemberontak bersenjata yang hendak menggulingkan Assad. Bahkan dalam KTT Non-Blok di Teheran tahun 2012, pernyataan Mursi yang menyerang pemerintahan Suriah sempat menimbulkan ketegangan diplomatik.
Bagi Iran, ini adalah episode pengkhianatan lain dari rezim yang seharusnya membawa semangat keislaman, tapi justru terjebak dalam blok geopolitik sektarian.
Qatar dan Realitas Realpolitik
Kisah pengkhianatan lain datang dari Qatar. Pada 2017, ketika Doha diblokade oleh Arab Saudi, UEA, Bahrain, dan Mesir, Iran membuka langit udaranya dan mengirim bantuan pangan, logistik, serta dukungan diplomatik. Tetapi dalam ketegangan terbaru antara Iran dan Amerika Serikat, termasuk serangan terhadap Pangkalan Al-Udeid—fasilitas militer AS terbesar di Timur Tengah yang terletak di Qatar yang ditengarai dipakai sebagai salah satu basis penyerangan terhadap Iran—pemerintah Doha justru mengecam Iran.
“Iran tidak berharap balasan,” ujar Mohammad Javad Zarif, mantan Menteri Luar Negeri Iran, dalam sebuah wawancara pada 2020. “Tapi kami juga tidak buta akan kenyataan bahwa dunia Arab sering menukar loyalitas dengan keuntungan sesaat.”
Pasal 154: Palestina dalam Denyut Konstitusi Iran
Dukungan Iran terhadap Palestina tidak semata didasari pada kesamaan agama atau kepentingan politik. Pasal 154 Konstitusi Republik Islam Iran menegaskan bahwa negara akan “mendukung perjuangan sah bangsa-bangsa tertindas di seluruh dunia,” (berdasarkan QS An Nisa: 75) dengan Palestina disebut secara eksplisit dalam banyak pidato pemimpin Iran sebagai pusat perhatian utama.
Setiap tahun, rakyat Iran memperingati Hari Al-Quds pada Jumat terakhir di bulan Ramadhan—sebuah tradisi yang dimulai oleh Ayatullah Khomeini, pendiri Republik Islam. Di seluruh negeri, rakyat turun ke jalan membawa bendera Palestina, meneriakkan kecaman terhadap Israel, dan menyerukan pembebasan Al-Quds.
Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamenei, menegaskan dalam berbagai kesempatan:
“Kami tidak mendukung Palestina karena mereka Sunni atau Syiah. Kami mendukung mereka karena mereka tertindas.”
Pelajaran dari Iran: Konsistensi di Tengah Ketidakpastian
Meskipun kerap kali dikhianati oleh pihak-pihak yang pernah menerima bantuannya, Iran tetap mempertahankan garis kebijakan luar negerinya yang anti-Zionis dan pro-mustadh’afin (kaum tertindas). Di saat banyak negara Arab menormalisasi hubungan dengan Israel, Iran justru memperkuat dukungan terhadap kelompok-kelompok perlawanan seperti Hizbullah, Hamas, dan Jihad Islam Palestina.
Pengamat menilai, posisi Iran tidak semata berdasarkan kalkulasi geopolitik, melainkan ideologi revolusioner yang melekat dalam DNA negara tersebut. Seperti disampaikan dalam salah satu editorial surat kabar Kayhan, “Iran tidak mencari simpati, dan tidak berharap ucapan terima kasih. Iran hanya ingin berada di sisi sejarah yang benar.”

Iran memang bukan tanpa cela dalam kebijakan luar negerinya. Namun dalam konteks Palestina, konsistensi dan keberaniannya untuk tetap berdiri melawan hegemoni Israel dan tekanan dunia internasional menjadi sesuatu yang langka. Dan meskipun berkali-kali dikhianati dan dikenai berbagai sanksi, Iran tetap menegaskan bahwa perjuangan untuk Palestina adalah bagian dari iman, bukan investasi politik.
“Kebenaran tidak ditentukan oleh siapa yang mendukungmu,” kata seorang ulama Iran dalam ceramah Hari Al-Quds, “tetapi oleh siapa yang kau perjuangkan.”