Provinsi Gorontalo sedang mengalami darurat kerusakan hutan yang masif. Ironisnya, data resmi yang digunakan pemerintah justru tertinggal jauh dari realita di lapangan, menyulitkan upaya perlindungan dan pemulihan ekosistem vital ini. Mari bedah fakta selengkapnya:
Data Resmi Kawasan Hutan: Catatan yang Mulai Usang
Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 325/Menhut-II/2010, luas total kawasan hutan Gorontalo ditetapkan sebesar 824.668 hektar . Komposisinya meliputi:
- Hutan Konservasi (HK)
- Hutan Lindung (HL)
- Hutan Produksi Terbatas (HPT)
- Hutan Produksi Tetap (HP)
- Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK)
Perubahan Signifikan (2015-2021):
Pada tahun 2015, terjadi pelepasan kawasan HPK seluas 55.941,85 hektar dan untuk transmigrasi seluas 571,74 hektar. Kemudian, berdasarkan SK Menteri LHK No. SK.6621/MENLHK-PKTL/KUH/PLA-2/10/2021, komposisi terkini adalah :
- Hutan Konservasi: 196.476,18 hektar
- Hutan Lindung: 203.106,34 hektar
- Hutan Produksi Terbatas: 251.887,21 hektar
- Hutan Produksi Tetap: 89.412,64 hektar
- HPK: 23.259,58 hektar
- Total Luas Kawasan Hutan (2021): 764.141,96 hektar
Ini berarti Gorontalo telah kehilangan 60.526,04 hektar kawasan hutannya hanya dalam kurun 6 tahun (2015-2021) . Data ini pun masih bersifat administratif (“atas kertas”) dan belum tentu mencerminkan tutupan hutan alam aktual di lapangan.
Lahan Kritis: Indikator Nyata Kerusakan Ekologis
Sementara data resmi hutan masih diperdebatkan, indikator kerusakan ekologis justru sangat nyata dan mengkhawatirkan:
📊 Degradasi Ekstrem: Lonjakan Lahan Kritis Gorontalo
Tahun Luas Lahan Sangat Kritis Kenaikan Penyebab Utama 2004 65.414 hektar – Alih fungsi hutan, pertanian di lereng curam 2020 259.483 hektar Hampir 4x lipat Deforestasi, minimnya konservasi, tekanan urbanisasi
Penyebaran terparah terjadi di Kabupaten Pohuwato, Bone Bolango, Boalemo, dan Gorontalo . Tekanan urbanisasi mempercepat alih fungsi lahan di pinggiran kota menjadi lahan terbangun, bahkan di perbukitan yang rawan degradasi.
Ancaman Baru: Proyek Bioenergi dan Deforestasi Terencana
Alih-alih menghentikan laju kerusakan, kebijakan baru justru mengancam sisa hutan Gorontalo:
- Ekspansi HTE Skala Besar: Terdapat 10 izin bioenergi aktif yang mencakup 282.100 hektar lahan . Enam izin baru sedang diantrekan (PT. Hutani Cipta dkk) untuk menambah 180.000 hektar lagi, terutama di Pohuwato, Boalemo, dan Gorontalo Utara .
- Dampak Deforestasi: Analisis Trend Asia (2022) menyebut proyek HTE berisiko menyebabkan deforestasi 630.000 – 2,1 juta hektar secara nasional. Di Pohuwato saja, >17.000 hektar hutan hilang dalam periode 2020-2024 untuk kebun kayu energi .
- Solusi Palsu & Greenwashing: Pengembangan biomassa kayu untuk co-firing PLTU dinilai sebagai “solusi palsu” yang justru mempertahankan energi kotor (batubara) dan memperparah krisis ekologis .
- Ancaman Keanekaragaman Hayati: Kawasan seperti Bentang Alam Popayato-Paguat (Pohuwato) yang kaya biodiversitas (23 spesies mamalia, 175 jenis burung, banyak endemik & dilindungi) terancam terfragmentasi oleh HTE .
Kegagalan Pengelolaan & Ketidakjelasan Tanggung Jawab
Temuan ini membuktikan bobroknya tata kelola hutan di Gorontalo:
- Data Usang & Tidak Akurat: Pemerintah masih berkutat pada data penetapan kawasan (RTGHK) yang sudah “buluk” (1-2 dekade lalu), sementara realitas tutupan hutan dan lahan kritis berubah drastis .
- Lemahnya Penegakan Hukum: Kawasan HPK yang seharusnya memiliki syarat ketat (AMDAL) justru menjadi “pintu belakang” pelepasan hutan untuk kepentingan investasi, seringkali mengabaikan dokumen lingkungan
- Kontradiksi Kebijakan: Di satu sisi, pemerintah menargetkan FOLU Net Sink 2030 (penyerapan karbon), tetapi di sisi lain justru mendorong alih fungsi hutan besar-besaran untuk HTE yang berkedok “bioenergi” dan “pengurangan emisi” .
- Kriminalisasi Masyarakat: Alih fungsi lahan seringkali disertai perampasan ruang hidup dan kriminalisasi masyarakat lokal, seperti yang dialami petani di Desa Pangeya, Boalemo .
- Tumpang Tindih Kewenangan: Penetapan garis sempadan sungai (misal) yang menjadi kewenangan Pemda (Permen PUPR 28/2015) justru berpotensi dimanipulasi untuk kepentingan pembangunan di kawasan lindung .
Dampak Nyata: Bencana Ekologis yang Semakin Memburuk
Ketidakseriusan pemerintah berujung pada penderitaan rakyat:
- Banjir Bandang Berulang: Kabupaten Pohuwato (terutama Popayato) kerap dilanda banjir bandang yang merendam permukiman dan jalan. Aktivitas industri (termasuk HTE) di daerah hulu ditengarai sebagai pemicu utama .
- Rusaknya DAS: Dari 108 Daerah Aliran Sungai (DAS) di Gorontalo, banyak yang mengalami degradasi masif dalam dua dekade terakhir. Lahan kritis di hulu memperparah sedimentasi dan mengganggu fungsi DAS sebagai penopang tata air .
- Hilangnya Layanan Ekosistem: Berkurangnya hutan berarti hilangnya fungsi penyimpan air, pengatur iklim mikro, pencegah erosi, dan penopang keanekaragaman hayati.
Masyarakat Bersuara: Tuntutan Moratorium dan Perubahan Kebijakan
Menyikapi krisis ini, gerakan masyarakat sipil menguat:
- Aksi Moratorium: WALHI menuntut “Moratorium Izin Industri Ekstraktif” di Gorontalo. Mereka menyoroti kerusakan hutan, perampasan lahan warga, dan kriminalisasi yang marak terjadi .
- Kritik Akademisi: Prof. Fitryane Lihawa (Guru Besar UNG) menekankan bahwa pemulihan DAS membutuhkan pemberdayaan masyarakat sebagai aktor utama, bukan sekadar teknologi. Masyarakat pinggiran hutan seringkali terpaksa merusak lingkungan akibat tekanan ekonomi dan ketidaktahuan .
- Solusi Berbasis Masyarakat: Pendekatan partisipatif, edukatif, dan insentif ekonomi berkelanjutan diyakini lebih efektif memulihkan lahan kritis dibandingkan proyek skala besar yang merusak .

💡 Catatan Kritis: Mitos 30% Luas Hutan
Wacana “minimal 30% luas wilayah harus berhutan” sering digaungkan. Namun:
- UU No. 41/1999 tentang Kehutanan (Pasal 18) memang menyebutkan arahan bahwa proporsi kawasan hutan minimal 30% dari luas DAS/pulau dengan sebaran proporsional. Namun, ini BUKAN target mutlak tiap daerah dan lebih bersifat arahan penyelenggaraan kehutanan.
- Fokus seharusnya pada kualitas ekosistem (tutupan vegetasi, fungsi lindung) dan keterpenuhan fungsi ekologis DAS, bukan sekadar angka 30% di atas kertas. Gorontalo membuktikan, meski secara administratif luas kawasan hutan masih di atas 60% wilayahnya (764.142 Ha / ~1,2 juta Ha wilayah), lahan kritisnya justru melonjak dan bencana hidrometeorologi semakin sering.
Darurat Kebijakan, Masyarakat Harus Terus Mendesak Perubahan
Data resmi yang usang dan tidak akurat merupakan cerminan kegagalan governance (tata kelola) kehutanan dan lingkungan hidup di tingkat pemerintah daerah Gorontalo dan pusat. Ketiadaan data hutan terkini yang transparan dan akurat adalah bentuk kelalaian yang tidak bisa ditoleransi.
Ancaman proyek bioenergi skala besar, lonjakan lahan kritis, dan bencana ekologis yang berulang adalah buah dari kebijakan yang kontradiktif dan penegakan hukum yang lemah. Masyarakat Gorontalo tidak bisa lagi diam. Tuntutan moratorium izin industri ekstraktif dan revisi kebijakan yang pro-lingkungan serta melibatkan masyarakat lokal harus didorong terus-menerus.
Pemerintah pusat dan daerah wajib:
- Memperbarui Data: Menyediakan data tutupan hutan dan lahan terkini yang akurat dan terbuka untuk publik.
- Mengevaluasi Izin Bioenergi: Mengkaji ulang dan menghentikan izin HTE yang mengancam hutan alam tersisa dan kawasan bernilai konservasi tinggi.
- Memprioritaskan Pemulihan: Fokus pada rehabilitasi lahan kritis secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat sebagai mitra utama.
- Memperkuat Penegakan Hukum: Menindak tegas pelanggaran di kawasan hutan dan menghentikan kriminalisasi masyarakat adat/lokal.
Hutan Gorontalo bukan sekadar angka di atas kertas, tapi penopang hidup generasi sekarang dan masa depan. Menyelamatkannya adalah keharusan!