Mencari Rembulan di Dasar Sumur

Alkisah, suatu ketika di bulan purnama, Nasaruddin Hoja melihat ke sumur, dan betapa kagetnya ia melihat rembulan berada di dasar sumur itu. Seperti layaknya politisi, dia merasa terpanggil menyelamatkan keadaan. Dia harus angkat rembulan dan kembalikan ke asalnya. Lalu ia ambil timba, untuk mempercepat timba turun dia letakkan pemberat, Nasaruddin malah terjungkal ke dasar sumur. Sambil megap-megap ia melihat ke langit dan, “Alhamdulillah, usahaku berhasil, rembulan telah bertengger kembali di tempatnya”.

Anekdot tentang Nasaruddin Hoja yang melihat rembulan di dasar sumur, lalu berusaha mengangkatnya kembali ke langit namun malah terjatuh, mengandung kritik sosial yang tajam sekaligus jenaka. Di balik kelucuan yang tampak, tersimpan refleksi mendalam tentang perilaku manusia, terutama mereka yang memposisikan diri sebagai “penyelamat” tanpa memahami persoalan sebenarnya. Lebih jauh lagi, kisah ini merupakan sindiran halus terhadap gaya kepemimpinan yang salah arah, namun tetap merasa telah berjasa.

Mitos Heroisme yang Semu

Nasaruddin Hoja, dalam banyak kisah, dikenal sebagai tokoh yang lugu sekaligus bijak dalam cara yang tak terduga. Dalam anekdot ini, ia melihat bayangan rembulan di dasar sumur dan menganggapnya sebagai kenyataan. Rembulan “hilang”, dan ia merasa terpanggil untuk mengembalikannya ke tempat semula. Ini adalah cerminan dari tokoh atau pemimpin yang melihat masalah bukan sebagaimana adanya, tetapi berdasarkan persepsi yang keliru—dan dari persepsi itulah lahir tindakan yang salah arah namun penuh percaya diri.

Sindiran terhadap Politisi Populis

Kalimat: “Seperti layaknya politisi, dia merasa terpanggil menyelamatkan keadaan” menjadi kunci satir dalam cerita ini. Banyak pemimpin, terutama di dunia politik, mengaku hendak “menyelamatkan” rakyat atau “mengembalikan” sesuatu yang hilang, padahal yang mereka lihat hanyalah refleksi dari ambisi atau ilusi mereka sendiri. Bukannya menyelesaikan masalah, tindakan mereka justru memperburuk keadaan. Namun seperti Nasaruddin, mereka tetap mengklaim keberhasilan. Dalam narasi ini, jatuhnya Nasaruddin ke dalam sumur tak dianggap sebagai kegagalan, tapi justru ia rayakan karena rembulan ternyata telah kembali ke langit—padahal sejak awal rembulan tidak pernah turun.

Ilusi Solusi, Kepuasan Palsu

Ada dimensi psikologis yang menarik dari kisah ini: kelegaan yang didapat bukan karena keberhasilan objektif, tapi karena kesesuaian antara harapan dan kenyataan yang dipersepsikan. Hoja menganggap rembulan kembali ke tempatnya bukan karena ia benar-benar berhasil, tapi karena ia tak lagi melihat pantulan itu di sumur. Ini menggambarkan bagaimana sebagian orang merasa telah menyelesaikan masalah hanya karena gejalanya tak tampak lagi di permukaan. Mereka tidak menyelami akar masalah, tidak memeriksa realitas yang sebenarnya, tapi cukup puas dengan “hilangnya bayangan”.

Pembelajaran Etis dan Intelektual

Dari kisah ini kita dapat mengambil pelajaran penting: niat baik saja tidak cukup. Dibutuhkan pemahaman, ketepatan diagnosis, dan pendekatan yang benar agar tindakan membawa hasil yang nyata. Dalam dunia kepemimpinan, pendidikan, dan kehidupan sosial, terlalu banyak “Nasaruddin” yang dengan penuh semangat menurunkan timba ke sumur untuk mengambil sesuatu yang tidak pernah ada di sana, lalu merasa berhasil ketika kenyataannya tidak sesuai dengan ilusi semula.

Penutup

Kisah Nasaruddin Hoja bukan sekadar humor rakyat, tetapi kritik bijak tentang bagaimana manusia sering tertipu oleh persepsi mereka sendiri, dan bagaimana kepemimpinan yang tak berdasar ilmu bisa jatuh ke dalam sumur kesia-siaan. Namun ironinya, di dunia yang penuh gema, pendengung (buzzer) dan simbolisme ini, bahkan kegagalan bisa dipoles sebagai keberhasilan. Dan seperti Nasaruddin, para pemimpin palsu tetap bisa berseru: “Alhamdulillah, usahaku berhasil!”—padahal dunia melihat mereka masih tercebur di dasar sumur.

Agus Abubakar Arsal

Check Also

Antara Ujian Keimanan dan Harga Diri

Oleh: Agus Abubakar Arsal “Kesetiaan yang dibeli dengan uang, bisa dihancurkan dengan uang.”– Seneca Di …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *