Di tengah citra Jepang sebagai pelopor lingkungan dengan hutan perkotaan yang asri dan teknologi ramah lingkungan, tersembunyi paradoks gelap: Negeri Matahari Terbit itu justru menjadi pendorong utama deforestasi di Indonesia. Melalui impor besar-besaran pelet kayu dari hutan hujan tropis Indonesia untuk memenuhi ambisi energi “hijau”-nya, Jepang mengalihkan kerusakan lingkungan ke negara berkembang sambil menjaga ekosistem domestiknya. Ironi ini memicu tudingan “kolonialisme lingkungan” dan mengancam keanekaragaman hayati global .
Kebijakan Energi “Hijau” Jepang: Bermuka Dua?
- Dampak Pasca-Fukushima: Setelah bencana nuklir 2011, Jepang beralih ke biomassa kayu sebagai energi terbarukan. Mereka menerapkan Feed-in Tariff (FiT), memberi tarif tetap untuk produsen energi biomassa dan subsidi untuk pembangkit listrik berbasis kayu. Kebijakan ini mendorong impor pelet kayu dari Indonesia secara masif .
- Green Transformation (GX) yang Kontradiktif: Jepang menargetkan 1.065 TWh energi terbarukan pada 2030. Namun, 38% pelet kayu Indonesia—yang berasal dari pembabatan hutan alam—dikirim ke Jepang. Volume ekspornya meledak 1.000 kali lipat dalam 3 tahun terakhir, dari 100 metrik ton menjadi ribuan ton .
- Keterlibatan Langsung Perusahaan Jepang: Menurut laporan Mighty Earth (2023), perusahaan Jepang terlibat dalam 49 proyek biomassa di Indonesia. Misalnya, Oji Holdings bermitra dengan Korindo membuka kebun energi seluas 94.378 hektar di Kalimantan Tengah, mengakibatkan hilangnya 81.535 hektar hutan sejak 2000 .
Dampak di Indonesia: Hutan Tropis yang Terkorbankan
- Deforestasi Skala Besar: Proyek biomassa telah menghancurkan 33.322 hektar hutan hanya dalam periode 2021–2023. PT Biomasa Jaya Abadi (BJA) di Sulawesi, misalnya, membabat 1.105 hektar hutan bernilai konservasi tinggi untuk diubah menjadi pelet kayu .
- Ancaman Keanekaragaman Hayati: Lebih dari 4 juta hektar habitat orangutan dan 127 kawasan keanekaragaman hayati kunci (KBA) terancam oleh ekspansi kebun kayu energi. Hutan primer di Sulawesi dan Kalimantan—rumah bagi endemik langka—kini berubah menjadi monokultur industri .
- Konflik Sosial: Masyarakat adat kehilangan akses pada hutan tradisional. Timer Manurung dari Auriga Nusantara menegaskan: “Kebijakan co-firing PLTU dalam negeri akan meningkatkan konsumsi biomassa hingga 8.400%, memperparah konflik lahan” .
Jepang “Ngajar” Indonesia Soal Hutan
Meski menjadi aktor utama deforestasi, Jepang justru kerap memberi “nasihat” kepada Indonesia tentang pelestarian lingkungan. Pada 2019, Direktur Great Forest Wall Project Jepang, Makoto Nikkawa, menyerukan Indonesia menjaga hutan saat pembangunan infrastruktur. Padahal, kebijakan energi negaranya sendiri merangsang perusakan hutan Indonesia .
“Saat berkunjung ke Jepang, saya melihat hutan mereka terjaga bahkan di pusat kota. Tapi Indonesia justru menanggung deforestasi akibat transisi energi Jepang,” protes Bhima Yudhistira (Direktur CELIOS), menyoroti ketidakadilan ini .
Tuntutan Keadilan Lingkungan
- Reformasi Subsidi: Korea Selatan telah memulai langkah positif dengan mengurangi subsidi biomassa pada Desember 2024. Aktivis mendesak Jepang mengikuti jejak ini dan mengalihkan dana ke energi surya atau angin yang lebih berkelanjutan .
- Kemitraan Karbon Adil: Indonesia kini menawarkan kredit karbon hutan melalui skema FOLU Net Sink 2030 dan Indonesian Carbon Exchange (IDX Carbon). Dalam forum di Osaka (Mei 2025), Indonesia menjajaki Mutual Recognition Arrangement (MRA) dengan Jepang agar perlindungan hutan dihargai sebagai aset global .
- Tekanan Global: LSM seperti Greenpeace dan Mighty Earth mendesak Jepang mencabut pelet kayu dari kategori “energi terbarukan”. “Jika aman, buang di Tokyo, uji di Paris, tapi jaga Pasifik bebas nuklir!” seru Hilda Lini, aktivis Vanuatu, mengingatkan Jepang pada slogan gerakan anti-nuklir Pasifik
Jepang telah membangun citra sebagai pemimpin lingkungan, tetapi kebijakan energinya mengorbankan paru-paru dunia di Indonesia. Paradoks ini bukan hanya krisis ekologi, melainkan cermin ketimpangan global di mana negara kaya memindahkan beban lingkungan ke negara miskin. Jika Jepang sungguh peduli pada kelestarian bumi, ia harus segera mengakhiri praktik “outsourcing kerusakan” dan berinvestasi pada transisi energi yang benar-benar adil.