Paradoks Transisi Energi: Proyek Biomassa Ternyata Babat Hutan Alam dan Usik Hak Masyarakat Adat

Pemerintah Indonesia gencar mempromosikan transisi energi dari bahan fosil ke sumber terbarukan, salah satunya melalui program co-firing biomassa di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Namun, investigasi terbaru mengungkap fakta mencengangkan: proyek yang diklaim “ramah lingkungan” ini justru memicu deforestasi masif, mengancam ruang hidup masyarakat adat, dan mempertanyakan validitas klaim rendah karbon .

Ambisi Hijau yang Berbalik Menghancurkan
Program co-firing biomassa—mencampur batubara dengan pelet kayu—menjadi andalan Kementerian ESDM untuk mencapai target 23% bauran energi terbarukan pada 2025. PT PLN menargetkan 107 PLTU akan menerapkan teknologi ini pada 2025, dengan kebutuhan biomassa mencapai 10,2 juta ton per tahun. Untuk memenuhinya, pemerintah membangun Hutan Tanaman Energi (HTE) seluas 1,3 juta hektar di 31 konsesi .

Namun, laporan Trendasia dan Mongabay membongkar realita pahit: pembangunan HTE justru mengorbankan hutan alam tersisa. Di Jambi, PT Hijau Artha Nusa (HAN) membuka 4.000 hektar hutan alam, tetapi hanya menanam 64,5 hektar tanaman energi. Konsesi itu kini ditinggalkan, berubah jadi lahan sawit dan tambang ilegal .

Deforestasi Terencana di Balik Label “Hijau”
Analisis FWI memproyeksikan kebutuhan biomassa untuk co-firing akan memicu deforestasi 4,65 juta hektar—setara 6 kali luas Pulau Bali—melalui alih fungsi hutan alam di konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan HTI . Temuan lain mengungkap:

  1. Di Aceh, izin HTE PT Aceh Nusa Indrapuri (97.768 hektar) justru dicabut KLHK karena pelanggaran.
  2. Di Gorontalo, dua perusahaan sawit beralih produksi wood pellet dengan membabat hutan bernilai konservasi tinggi.
  3. Di Kalimantan, 12 perusahaan HTE menguasai 505.000 hektar lahan, meski wilayah itu masuk target pengurangan deforestasi FoLU Net Sink 2030 .

Tabel: Dampak Pembangunan HTE di Indonesia (2025)

LokasiLuas DeforestasiPerusahaan TerlibatDampak Lingkungan
Jambi4.000 haPT HAN, PT RPSLKerusakan ekosistem, polusi udara
Aceh97.768 ha (izin)PT ANIKetidakpastian hukum lahan
Kalimantan505.000 ha12 perusahaan PBPH-HTKonflik agraria

Masyarakat Adat: Korban yang Terlupakan
Proyek HTE tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengusik hak masyarakat adat. Di Halmahera Utara, Maluku, PT Kirana Cakrawala (KC) menguasai lahan adat O’Hongana Manyawa tanpa proses Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). Masyarakat kehilangan akses ke hutan sumber pangan dan obat-obatan .

“Kami tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan. Kini, kebun kami terancam digusur untuk tanaman energi,” protes seorang perempuan adat Halmahera . Di Pulau Buru, Maluku, PT Inagro Cipta Nusantara (ICN) mengalihfungsikan 19.000 hektar hutan adat untuk menanam gamal, meminggirkan peran perempuan dalam pengelolaan lahan tradisional .

Mitos “Netral Karbon” yang Runtuh
PLN mengklaim biomassa bersifat netral karbon karena CO₂ yang dilepas saat pembakaran “diserap saat pohon tumbuh”. Namun, kajian Trend Asia membantahnya:

  • Emisi dari produksi biomassa (pengolahan, transportasi) dan pembakaran di PLTU menyumbang 26,48 juta ton CO₂e per tahun
    setara emisi 5,7 juta mobil.
  • Pembukaan hutan untuk HTE melepas stok karbon tanah yang telah tersimpan puluhan tahun .

Box: Kesenjangan Data Emisi Co-firing

“Klaim netral karbon biomassa tidak memperhitungkan emisi sektor hulu. Ketika hutan alam dibabat, karbon yang dilepas jauh lebih besar daripada yang diserap tanaman energi pengganti.”
— Amalya Reza Oktaviani, Manajer Program Trend Asia

Solusi Palsu atau Transisi yang Keliru?
Para ahli menuding co-firing biomassa sebagai solusi palsu (false solution) yang justru memperpanjang usia PLTU batubara. Faktanya:

  1. Porsi biomassa di PLTU hanya 2-10%, sementara batubara tetap dominan .
  2. RUPTL 2021-2030 memproyeksikan emisi PLTU malah naik jadi 298,9 juta ton CO₂e pada 2030 .
  3. Peraturan Menteri ESDM No. 10/2025 masih memasukkan biomassa sebagai strategi transisi, meski bukti deforestasi menguat .

Jalan Alternatif Menuju Transisi Berkeadilan
Di tengah kontroversi, sejumlah komunitas membuktikan transisi energi bisa dilakukan tanpa mengorbankan lingkungan dan masyarakat:

  • PLTMH Seloliman di Jawa Timur (12 KWh) memberdayakan warga untuk mengelola energi mikrohidro sekaligus menjaga hutan lindung .
  • Perempuan pedesaan di Halmahera dan Salatiga mengembangkan biomassa limbah pertanian sebagai alternatif kayu bakar, meski terbentur akses teknologi .

LSM seperti Koalisi Perempuan Indonesia mendesak pemerintah:

  1. Terapkan kerangka GEDSI (Gender Equality, Disability, and Social Inclusion) dalam kebijakan energi .
  2. Alihkan insentif dari HTE ke energi surya dan angin yang lebih berkelanjutan .
  3. Libatkan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan proyek energi .

Catatan Akhir: Hijau yang Semu atau Nyata?
Transisi energi Indonesia di persimpangan: Apakah kebijakan ini benar-benar untuk planet, atau sekadar membungkus bisnis lama dengan kemasan hijau? Data menunjukkan, jika pemerintah terus bergantung pada biomassa kayu, target Nol Emisi 2060 akan dikorbankan untuk deforestasi dan pelanggaran HAM.

“Transisi energi tak boleh jadi driver deforestasi baru. Jika hutan paru-paru bumi dihabisi atas nama energi terbarukan, lalu di mana keadilan iklim itu?”.

Check Also

Emas Berdarah Gorontalo: Ekologi Yang Tergadaikan

Gorontalo, – Di balik kilau logam mulia, Provinsi Gorontalo menyimpan luka lingkungan dan sosial yang …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *