Pemerintah Cabut Belasan Izin Pemanfaatan Hutan

Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan (Kemenhut) RI mencabut belasan unit perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) yang dimiliki oleh perusahaan swasta.

Pencabutan ini dilakukan terhadap izin-izin yang tersebar di berbagai wilayah, mulai dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga Papua, dengan total luas lahan mencapai sekitar 526.144 hektare.

Langkah ini menjadi bagian dari evaluasi menyeluruh terhadap pengelolaan hutan di Indonesia, khususnya terkait kepatuhan pemegang izin terhadap ketentuan yang berlaku.

“Pasal 52 ayat (1) Permen LHK 8/2021 mengatur izin pemanfaatan hutan dapat berupa perseorangan, koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik swasta yang telah memperoleh NIB.”

Lantas, seperti apa ketentuan hukum yang mengatur izin PBPH dan apa alasan yang dapat menjadi dasar pencabutannya?

Total 18 Izin Pemanfaatan Hutan Dicabut, Apa Itu PBPH?

Pencabutan izin pemanfaatan hutan oleh Kemenhut dilakukan terhadap 18 unit PBPH milik perusahaan swasta karena ketidaktaatan terhadap ketentuan yang berlaku.

Dikutip dari bisnis.com , sebanyak 17 perusahaan terbukti menelantarkan area kerjanya dan melanggar ketentuan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi (Permen LHK 8/2021).

Sementara itu, satu perusahaan lainnya secara sukarela mengembalikan izin PBPH mereka.

Izin Pemanfaatan Hutan atau PBPH sendiri adalah izin yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memanfaatkan kawasan hutan secara sah, baik untuk mengambil hasil hutan kayu dan non-kayu, jasa lingkungan, serta pengolahan dan pemasaran hasil hutan secara berkelanjutan demi kesejahteraan masyarakat.

Terkait pencabutan izin pemanfaatan hutan, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menegaskan bahwa langkah pencabutan ini dilakukan demi menegakkan prinsip keadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945.

Senada dengan itu, Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari Kemenhut, Dida Mighfar Ridha, menerangkan bahwa lahan dari 18 unit PBPH yang dicabut akan dikembalikan menjadi kawasan hutan negara.

Sementara itu, pemegang izin yang dicabut diwajibkan untuk menghentikan seluruh kegiatan, menyerahkan barang tidak bergerak (kecuali tanaman hasil budidaya) kepada negara, serta melunasi kewajiban finansial dan kewajiban lainnya yang ditetapkan pemerintah.

Pemerintah akan melakukan penelaahan lebih lanjut terkait kondisi tutupan lahan, potensi hasil hutan, kondisi topografi, keberadaan masyarakat sekitar, dan aksesibilitas areal tersebut.

Sebagaimana disebutkan, PBPH adalah izin yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan kegiatan pemanfaatan hutan secara sah.

Pemanfaatan hutan ini meliputi berbagai aktivitas, seperti pengelolaan kawasan hutan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan non-kayu, serta jasa lingkungan.

Tujuan utama dari PBPH adalah untuk mengolah dan memasarkan hasil hutan secara optimal dan berkelanjutan, sehingga dapat mendukung kesejahteraan masyarakat tanpa mengabaikan kelestarian hutan itu sendiri.

Dalam regulasi yang diatur oleh Permen LHK 8/2021, kegiatan pemanfaatan hutan dibagi menjadi dua kategori: pemanfaatan pada hutan lindung dan hutan produksi.

Pada hutan lindung, kegiatan yang diizinkan meliputi pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK).

Sedangkan pada hutan produksi, kegiatan pemanfaatan lebih beragam, termasuk pemanfaatan kawasan, hasil hutan kayu, HHBK, serta pemungutan hasil hutan.

Proses permohonan PBPH sendiri terdiri dari beberapa tahapan seperti permintaan informasi Peta Arahan Pemanfaatan Hutan, permohonan pertimbangan teknis atau rekomendasi dari gubernur, verifikasi administrasi dan teknis, serta pembuatan peta areal kerja.

Dalam aturannya, tahapan ini tidak dikenakan biaya, namun dalam tahapan seperti survei lapangan, penyusunan proposal teknis, dan dokumen lingkungan pemohon wajib menanggung biayanya sendiri.

Siapa yang dapat mengajukan permohonan PBPH? Pasal 52 ayat (1) Permen LHK 8/2021 mengatur dapat berupa perseorangan, koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik swasta yang telah memperoleh Nomor Induk Berusaha (NIB).

Permohonan PBPH diajukan secara elektronik melalui Lembaga OSS dengan melampirkan dokumen berupa pernyataan komitmen dan persyaratan teknis.

Pernyataan komitmen mencakup kesediaan memenuhi ketentuan seperti pembuatan peta koordinat areal dan pelunasan biaya perizinan.

Sementara itu, persyaratan teknis memuat proposal pemanfaatan hutan secara rinci, termasuk rencana pelestarian dan perlindungan lingkungan.

Selain itu, pemohon juga wajib memperoleh pertimbangan teknis dari gubernur sebagai dasar penilaian tata ruang dan potensi pemanfaatan kawasan yang dimohonkan.

Kenapa Izin Bisa Dicabut?

Izin usaha pemanfaatan hutan (PBPH) dapat dicabut sebagai sanksi terhadap pelanggaran yang merugikan kelestarian hutan.

Hutan memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan iklim, keanekaragaman hayati, dan mencegah bencana alam sehingga perusakan hutan tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengancam kehidupan masyarakat.

Oleh karena itu, pemberian PBPH memberikan perusahaan tanggung jawab besar untuk menjaga kelestarian hutan, mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan, dan mematuhi berbagai ketentuan yang berlaku.

Perusahaan harus memastikan kegiatan yang dilakukan tidak merusak lingkungan, melibatkan masyarakat setempat secara positif, dan memenuhi target yang telah ditetapkan untuk menghindari sanksi administratif atau pidana.

Sanksi administratif bagi pemegang PBPH yang melanggar ketentuan diatur dalam Pasal 356 hingga 365 Permen KLH 8/2021.

Sanksi administratif tersebut berupa teguran tertulis, denda, pembekuan, hingga pencabutan PBPH dikenakan sebagai respons atas pelanggaran terhadap kewajiban pemanfaatan hutan.

Misalnya, jika perusahaan tidak mencapai target penanaman, tidak menjalankan kegiatan sesuai rencana yang telah disetujui, atau mengabaikan upaya perlindungan hutan, maka tindakan tersebut dianggap sebagai bentuk kelalaian yang dapat merusak ekosistem dan mengganggu keberlanjutan fungsi hutan.

Adapun, dalam kasus pencabutan 18 unit PBPH yang terjadi baru-baru ini, pencabutan dilakukan karena perusahaan meninggalkan areal kerja tanpa alasan yang sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 365 ayat (1) huruf c Permen KLHK 8/2021.

Pemanfaatan hutan tidak hanya berorientasi pada eksploitasi sumber daya, tetapi juga mencakup tanggung jawab untuk menjaga kelestarian hutan, melibatkan masyarakat sekitar, serta memenuhi kewajiban administratif dan lingkungan.

Ketika pemegang PBPH tidak melaksanakan kegiatan apapun di areal kerja, hal ini berpotensi menyebabkan degradasi kawasan, konflik pemanfaatan lahan, hingga kerugian negara akibat tidak terpenuhinya kewajiban pembayaran PNBP.

Check Also

Emas Berdarah Gorontalo: Ekologi Yang Tergadaikan

Gorontalo, – Di balik kilau logam mulia, Provinsi Gorontalo menyimpan luka lingkungan dan sosial yang …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *