Tauhidul Wujud dan Tanggung Jawab Kemanusiaan: Refleksi atas Penderitaan Nabi sebagai Manifestasi Cinta Tertinggi

Oleh Agus Abubakar Arsal

Pendahuluan

Dalam tradisi tasawuf, puncak pengalaman spiritual sering digambarkan sebagai keadaan fana’ (lebur) dalam kecintaan kepada Allah, di mana seorang hamba merasa hanyut dalam kehadiran Ilahi. Namun, ada satu pertanyaan mendasar: Apakah pencapaian spiritual tertinggi berhenti pada kebahagiaan individu, atau justru menuntut tanggung jawab terhadap sesama?

Nabi Muhammad ﷺ memberikan teladan agung tentang hal ini. Setelah mengalami perjumpaan dengan Allah dalam Isra’ Mi’raj, beliau tidak berhenti pada kebahagiaan pribadi, tetapi memilih kembali ke dunia untuk berbagi cahaya Ilahi dengan umatnya. Penderitaan beliau bukan hanya kerinduan kepada Allah, tetapi juga empati mendalam terhadap penderitaan manusia. Inilah konsekuensi dari pemahaman Tauhidul Wujud (Kesatuan Wujud) yang sejati—sebuah pengakuan bahwa segala sesuatu adalah manifestasi Tuhan, sehingga penderitaan makhluk adalah penderitaan diri sendiri.

Tauhidul Wujud: Bukan Hanya Teori, Tapi Praktik Kemanusiaan

Tauhidul Wujud, sebagaimana dirumuskan oleh para sufi seperti Ibn ‘Arabi dan Al-Jili, bukan sekadar konsep filosofis tentang kesatuan alam semesta dengan Tuhan. Ia adalah kesadaran bahwa segala yang ada hanya ada karena Wujud-Nya. Dalam kitab Fusus al-Hikam, Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa alam adalah tajalli (penampakan) sifat-sifat Allah, sehingga seorang arif (yang telah mencapai ma’rifat) tidak bisa memisahkan dirinya dari tanggung jawab terhadap ciptaan.

Nabi ﷺ, sebagai Insan Kamil (manusia sempurna), telah mencapai maqam ini. Ketika beliau bersabda,

“Orang-orang yang berbelas kasih akan dikasihi oleh Yang Maha Pengasih. Kasihilah siapa pun yang di bumi, niscaya Yang di langit akan mengasihimu,” (HR. Tirmidzi),
beliau sedang mengajarkan bahwa cinta kepada Allah harus terwujud dalam cinta kepada makhluk-Nya.

Mi’raj dan Kembali ke Bumi: Spiritualitas yang Membumi

Peristiwa Isra’ Mi’raj sering dilihat sebagai perjalanan vertikal menuju Allah. Namun, esensi sejatinya justru terletak pada kembalinya Nabi ﷺ ke bumi. Dalam Latha’if al-Minan, Ibnu ‘Atha’illah berkata:
“Mi’raj-nya seorang hamba adalah ketika ia turun (kembali) kepada makhluk untuk melayani mereka.”

Ini menunjukkan bahwa puncak spiritualitas bukanlah melarikan diri dari dunia, tetapi justru terjun ke dalamnya untuk memperbaiki. Nabi ﷺ, setelah menyaksikan keagungan Allah, tidak memilih tinggal dalam ekstase, tetapi kembali membimbing umat yang masih terbelenggu kebodohan dan penderitaan.

Penderitaan Nabi: Ketika Tauhid Menjadi Empati

Sebagian orang mengira bahwa semakin dekat seseorang kepada Allah, semakin ia menjauhi manusia. Namun, Nabi ﷺ membuktikan sebaliknya: semakin dalam cintanya kepada Allah, semakin besar rasa sakitnya melihat penderitaan manusia.

Allah berfirman kepada kekasih-Nya: “Hampir saja engkau membinasakan dirimu (karena kesedihan) atas berpalingnya mereka dari jalan keselamatan, atas ketidakberimanan mereka”.
(Al Kahfi 18:6) (Asy Syu’ara’ 26:3)

Ini adalah buah dari Tauhidul Wujud—sebuah pemahaman bahwa:

Dia yang melihat Tuhannya dalam segala sesuatu, tidak bisa acuh pada derita makhluk.
Dia yang menyadari dirinya adalah bagian dari Wujud Ilahi, akan merasakan derita orang lain sebagai deritanya sendiri.

Dalam Al-Insan al-Kamil, Al-Jili menulis:

“Barangsiapa melihat Tuhannya dalam dirinya dan dirinya dalam Tuhannya, maka ia adalah muwahhid sejati.”

Orang seperti inilah yang tidak bisa berdiam diri ketika melihat ketidakadilan, kemiskinan, atau kebodohan.

Kritik dan Penyeimbangan

Meski begitu, Tauhidul Wujud sering disalahpahami sebagai penyatuan hamba dan Tuhan secara dzat (ittihad atau wahdatul wujud), yang bisa mengarah pada panteisme. Para sufi menegaskan bahwa “La ilaha illallah” tetap menegaskan transendensi Allah, sekaligus imanensi-Nya dalam ciptaan.

Karena itu, spiritualitas sejati harus seimbang antara:

Fana’ fillah (lebur dalam Allah) dan baqa’ billah (kekal bersama-Nya dalam tindakan).
Uzlah (menyendiri untuk ibadah) dan khidmah (melayani umat).

Nabi ﷺ sendiri menggabungkan kedua hal ini: beliau bisa menghabiskan malam dalam tahajud, tetapi siangnya aktif membela kaum lemah.

Penutup: Spiritualitas yang Mengubah Dunia

Pemahaman Tauhidul Wujud yang sejati tidak berakhir pada kesadaran metafisik, tetapi melahirkan aksi nyata. Nabi ﷺ mengajarkan bahwa derita spiritual tertinggi bukanlah karena tidak bertemu Allah, tetapi karena melihat manusia jauh dari-Nya.

Maka, jika kita mengaku mencintai Allah, kita harus turun ke jalan-jalan kehidupan, seperti Nabi ﷺ, dan berkata:

“Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad).
Inilah esensi tauhid yang hidup—tidak hanya di atas sajadah, tetapi juga dalam perjuangan menebar rahmat bagi semesta.

“Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107).

Wallahu a’lam.

Check Also

Keteguhan Iran Membela Palestina

Oleh Agus Abubakar Arsal Bekasi 01 Juli 25– Menjawab berbagai tuduhan terhadap Iran berkenaan dengan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *