Dukungan Gugat UU Cipta Kerja kluster Lingkungan Hidup

UU Cipta Kerja: WALHI Desak MK Cabut Klaster Lingkungan

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) hari ini secara resmi mengajukan gugatan judicial review (JR) materil terhadap Undang-Undang Cipta Kerja (UU CK) ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan ini menuntut pencabutan klaster lingkungan hidup dalam UU tersebut yang dinilai memuluskan kepentingan oligarki, mengancam keberlanjutan ekologis, serta melanggar hak masyarakat adat dan komunitas lokal.

Gugatan Strategis di Hari Penting

Gugatan yang didaftarkan bersamaan dengan momentum Hari Lingkungan Hidup Sedunia (5 Juni) ini memfokuskan pada 13 pasal dalam klaster lingkungan hidup UU Cipta Kerja. Menurut WALHI, pasal-pasal ini telah membuka jalan bagi perusakan sistematis terhadap sumber daya alam Indonesia .

Direktur Eksekutif WALHI Zenzi Suhadi menegaskan:

“UU ini telah mengubah Indonesia dari negara hukum menjadi negara kekuasaan. Perubahan izin lingkungan menjadi ‘persetujuan lingkungan’ menghilangkan mekanisme kontrol terhadap proyek yang merusak. Ini adalah kepentingan penjahat lingkungan!”

Dua Perubahan Kritis yang Dianggap Merusak

  1. Penghapusan Izin Lingkungan
    UU Cipta Kerja mengganti “izin lingkungan” dengan “persetujuan lingkungan”. Perubahan ini menghilangkan syarat mutlak izin lingkungan sebagai prasyarat izin usaha. Akibatnya, proyek dapat berjalan meski analisis dampak lingkungan (AMDAL) belum tuntas .
  2. Pelemahan Partisipasi Publik
    • Komisi AMDAL yang melibatkan pakar independen dan masyarakat dihapus .
    • Tim Uji Kelayakan baru dibentuk tanpa mekanisme keterbukaan dan akuntabilitas .
    • Masyarakat tidak langsung terdampak kehilangan hak menggugat izin proyek di pengadilan tata usaha negara .

Pelanggaran Hak Konstitusional dan Masyarakat Adat

Kuasa hukum WALHI, Mulya Sarmono, menyatakan bahwa UU ini melanggar Pasal 28H Ayat 1 UUD 1945 tentang hak atas lingkungan sehat. Reduksi hak gugat hanya untuk masyarakat terdampak langsung mengabaikan prinsip “setiap orang berhak menyelamatkan lingkungan” .

Proses perizinan yang terpusat dan tertutup juga meminggirkan masyarakat adat. Nur Hidayati (Direktur Eksekutif WALHI) menekankan:

“Minimnya partisipasi publik dalam AMDAL membuka ruang eksploitasi sumber daya agraria adat. Ini mempercepat krisis iklim dan ketidakadilan ekologis” .

Konteks Hukum: Inkonstitusional Bersyarat yang Diabaikan

Gugatan ini memperkuat putusan MK tahun 2021 yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat karena cacat formil. MK waktu itu memberi waktu 2 tahun untuk perbaikan, namun pemerintah mengabaikannya .

Tabel: Kronologi Sengketa UU Cipta Kerja

TanggalPeristiwaDampak Hukum
25 Nov 2021MK nyatakan inkonstitusional bersyaratPemerintah wajib perbaiki UU dalam 2 tahun
5 Jun 2025WALHI ajukan JR materil klaster lingkunganTuntutan cabut 13 pasal terkait lingkungan
7 Jun 2025Batas akhir perbaikan UU oleh pemerintahUU berstatus inkonsitusional permanen

Tuntutan dan Dampak ke Depan

WALHI dalam petitumnya meminta MK:

  1. Mencabut Pasal 13 huruf b UUCK yang mengubah “izin” jadi “persetujuan” lingkungan.
  2. Mengembalikan kewenangan Komisi AMDAL dan hak gugat masyarakat.
  3. Meninjau ulang proyek strategis yang mengabaikan AMDAL
Gugatan ini menjadi ujian bagi MK dalam mengawal konstitusi sekaligus membuktikan independensinya dari tekanan oligarki. Jika klaster lingkungan tidak dicabut, Indonesia diprediksi akan menghadapi gelombang krisis ekologis tanpa mekanisme hukum yang memadai. Seperti diingatkan Zenzi Suhadi: "Untuk siapa UU ini dibuat? Rakyat atau penjahat lingkungan?" .

Check Also

Atas Nama Tuhan? Tapi Tuhan yang Mana?

Oleh: Agus Abubakar Arsal Alhabsyi Baru saja terjadi, sebuah unggahan yang memicu kegelisahan moral, Presiden …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *